SyekhAbdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatra dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Masyhurnyadaerah ini sebagai pusat pendidikan dayah dapat diperkirakan dari kehadiran Syekh Abdurrauf Syiah Kuala itu sendiri ke tempat itu. Tgk. Syiah Kuala yang nama lengkapnya Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansury As-Singkili, dilahirkan di Fansur, Singkil, Aceh Selatan, tetapi setelah belajar di Arab sampai 19 tahun datang ke Banda Aceh AbdurraufAl-Singkili, Tabib Kompleks Prostitusi. Di Aceh, tepatnya di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh terdapat ulama yang sangat dihormati. Hingga saat ini makamnya tidak pernah sepi, selalu ramai diziarahi, ulama itu bernama Syekh Abdurrauf Al-Singkili. Masyarakat Aceh menyebutnya dengan panggilan Syiah Kuala. cash. Makam Ulama yang di ziarahi Kapolda Aceh adalah makam Syekh Abdurrauf As-Singkili yang terletak di Desa Kilangan, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil. Laporan Subur Dani Banda Aceh BANDA ACEH - Di sela-sela kunjungan ke Aceh Singkil, Kamis 20/1/2022, Kapolda Aceh, Irjen Pol Drs Ahmad Haydar SH MM, menyempatkan waktu untuk ber ziarah ke makam Ulama kharismatik di daerah itu termasuk di Provinsi Aceh. Makam Ulama yang di ziarahi Kapolda Aceh adalah makam Syekh Abdurrauf As-Singkili yang terletak di Desa Kilangan, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil. "Saat ber ziarah ke makam ulama, Kapolda Aceh turut didampingi Forkopimda Aceh Singkil dan tokoh agama setempat," kata Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Winardy SH SIK MSi. Kapolda Aceh, Irjen Pol Drs Ahmad Haydar SH MM, saat ber ziarah didampingi Irwasda Polda Aceh, Kombes Pol Kalingga Rendra Raharja SE SH, dan sejumlah PJU Polda Aceh lainnya. "Kapolda Aceh di setiap kunjungan kerjanya kerap kali mengunjungi, berziarah dan berdoa ke makam-makam ulama di Aceh, salah satunya seperti kunjungan ke Aceh Singkil yang menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Syekh Abdurrauf As-Singkili, " sebut Kabid Humas mengakhiri keterangannya.* Baca juga Buka Seminar Syekh Abdurrauf As Singkily, Ini Harapan Bupati Aceh Singkil K ompleks pemakaman orang tua Mufti Kesultanan Aceh tersebut, terlihat tidak terawat. Jalan masuk becek, serta tidak ada penanda jika puluhan meter dari pinggir sungai Lae Cinendang, itu ada situs sejarah. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, sepertinya belum tergerak untuk merawat jejak sejarah yang masih tersisa tersebut. Air sungai Lae Cindang di belakang permukiman penduduk Desa Tanjung Mas, Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil, terlihat tenang, Rabu 30/10/2019. Sesaat kemudian, air sungai tersebut beriak karena terdorong oleh perahu kecil berpenggerak mesin 5 Paardenkracht Pk. Tengah hari itu, Serambi di temani Warman, warga Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan, yang kini bermukim di Lae Butar, Kecamatan Gunung Meriah, naik perahu. Sekitar 10 menit perahu sudah menepi di dekat jalan setapak. Di sana ada tiga perahu milik petani kelapa sawit tertambat. Ketika menginjakan kaki di pinggir sungai, terlihat dari jarak sekitar 30 meter dua bangunan beratap seng. Bangunan itu merupakan makam Ali Fansury, ayahanda Syekh Abdurrauf As-Singkily. Nama Ali Fansury tertulis jelas di pelang nama yang digantung di atas kuburan tersebut. Sementara bangunan kedua diyakini merupakam kuburan ibunda Syekh Abdurrauf As-Singkily. Sayangnya, tidak ada keterangan nama yang tertera dalam kuburan tersebut. Kuburan Ali Fansury, menggunakan nisan bulat. Sementara kuburan di sebelahnya berbatu nisan pipih berelief. Di kebun sawit itu juga terdapat dua kuburan lain dengan batu nisan berbeda dari umumnya. Letaknya di pinggir jalan setapak menuju pintu masuk kuburan ayahanda Syekh Abdurrauf. Dua kuburan tersebut dipercaya merupakan pengawal Ali Fansury, semasa hidup. Dugaan itu mendekati kebenaran, lantaran posisi kuburan seakan menjaga pintu masuk makam ayahanda Syekh Abdurrauf. K ompleks pemakaman orang tua Mufti Kesultanan Aceh tersebut, terlihat tidak terawat. Jalan masuk becek, serta tidak ada penanda jika puluhan meter dari pinggir sungai Lae Cinendang, itu ada situs sejarah. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, sepertinya belum tergerak untuk merawat jejak sejarah yang masih tersisa tersebut. Cukup sulit mencari orang yang mengetahui sejarah dari makam ayahanda Syekh Abdurrauf tersebut. Begitu juga dengan asal usul Ali Fansury. Warga yang ditemui Serambi di sekitar pemakaman Ali Fansury, juga mengaku tidak tahu. "Orang yang tahu sejarah makam ini, sudah meninggal. Tapi, kita coba temui Imam Masjid Tanjung Mas, beliau mungkin banyak tahu," kata Warman. Imam Masjid Tanjung Mas, Kadiani 60, sedang duduk di teras rumah ketika Serambi, mendatanginya pada hari itu. Keturunan Raja Tanjung Mas itu, menceritakan makam Ali Fansury, dulunya masuk dalam Kerajaan Suro. Berdasarkan cerita turun temurun dari para leluhurnya, Kerajaan Suro sudah kosong sebelum masuk era Penjajahan Jepang. Sayangnya, Kadiani tak tahu persis penyebab Kerajaan Suro yang kini bekas wilayahnya masuk Desa Tanjung Mas, kosong ditinggalkan penduduk. "Tempat kuburan Ayahanda Syekh Abdurrauf, dulunya masuk Kerajaan Suro. Sekarang masuk Desa Tanjung Mas," kata Kadiani. Mengenai asal usul Ali Fansuri, Kadiani memiliki kisah yang hampir sama dengan yang diceritakan oleh masyarakat sekitar Tanjung Mas umumnya. Ali Fansury berasal dari salah satu wilayah di Sumatera Utara, dengan marga Lembong. Alkisah, pada suatu masa ada raja zalim. Di kerajaan itu, tinggal keluarga Ali Fansury. Pada saat istri Ali Fansury, mengandung Syekh Abdurrauf, banyak ternak babi mati mendadak. Atas kejadian tersebut, rakyat mengadu kepada sang raja. Lalu dipanggilah dukun untuk mengetahui penyebabnya. Dari keterangan dukun, ada perempuan mengandung yang membuat ternak babi mati. Maka raja, memerintahkan mencari dan membunuh semua perempuan hamil. Dalam musyawarah itu, hadir ayahanda Syekh Abdurrauf. Mengetahui hal itu, ia lantas mengajak sang istri yang sedang hamil beserta kedua anaknya kakak kandung Syekh Abdurrauf-red yaitu Waliyul Fani dan Aminudin melarikan diri. "Dalam pelarian itu, sampailah di Kerajaan Suro, dan menetap," kisah Imam Masjid Tanjung Mas, Kadiani. Kisah ini boleh jadi memiliki versi lain. Namun, paling penting, Kadiani berharap Pemkab Aceh Singkil, segera membangun jembatan dan memperbaiki jalan menuju pemakaman ayahanda Syekh Abdurrauf As-Singkili, serta membangun gapura di pintu masuk agar masyarakat mengetahui ada makam orang tua ulama besar di Tanjung Mas. dede rosadi Abstrak Artikel ini mengkaji tafsir Tarjumân al-Mustafîd karya ' Abd al-Rauf al-Fanshuri. Penelitian ini difokuskan pada surah al-Fâtihah dan surah al-Baqarah yang menghabiskan setidaknya lima puluh halaman dari tafsir Tarjumân al-Mustafîd. Pendekatan deskriptif dan kuantitatif dalam penelitian ini sangat perlu dilakukan untuk menggapai hasil yang tepat sesuai dengan fakta dan realitas yang ada. Tafsir ini ditulis ketika ' Abd al-Rauf menduduki jabatan mufti di kerajaan Aceh yang waktu itu dipimpin oleh empat orang sultanah secara bergantian. Meskipun begitu, hampir dapat dikatakan nuansa politis itu tidak meresap ke dalam penafsirannya. Sisi keunikan tafsir ' Abd al-Rauf ini, ia sangat kontiniu dalam menggunakan kata kunci tertentu untuk mengawali sebuah penafsiran, ditambah lagi dengan bahasa dan aksara yang melekat dalam tafsir semakin menambah kekayaan khazanah tafsir Nusantara yang jarang dimiliki oleh tafsir lain. Abstract 'Abd al-Rauf al-Fanshuri's Tarjumân al-Mustafîd Biography, Political and Theological Contestation and Tafsir Methodology. This article is an attempt to provide insight to the reader on the interpretation of Tarjumân al-Mustafîd by ' Abd al-Rauf al-Fanshuri focusing on the sura al-Fâtihah and sura al-Baqarah which consumes at least fifty pages of the Tarjumân al-Mustafîd tafsir. This commentary was written when ' Abd al-Rauf assumed the position of mufti in the kingdom of Atjeh, which was then led by four sultanahs in turn, although, it is almost arguable that the political nuance did not seep into his interpretation. The unique aspect of the interpretation of ' Abd al-Rauf, he constantly uses certain keywords to start an interpretation, coupled with the language and script inherent in the interpretation increasing the wealth of the wealth of interpretation of the Nusantara that is rarely owned by other exegetes.

makam syekh abdurrauf as singkili